Yang Kaya
dengan Yang Kaya Yang Miskin dengan Yang Miskin
dalam Potret Kehidupan Masyarakat
Yang kaya dengan yang kaya dan yang miskin denan
yang miskin, mugkin dari judul tersebut kita sudah dapat menggambarkan tentang
bahasan saya kali ini. kesenjangan sosial. Yang namanya kesenjangan
sosial memang selalu terjadi, mungkin diseluruh masyarakat dunia sekalipun, itu
pasti sudah terjadi. Beberapa pakar dan pengamat masalah sosial menduga bahwa
diskriminasi sosial berkaitan dengan kesenjangan sosial. Ada yang sependapat dengan dugaan itu, tetapi
ada yang belum yakin bahwa penyebab diskriminasi sosial adalah kesenjangan
sosial. memang tidaklah mudah untuk di punkiri mengenai kesenjangan sosial
dengan diskriminasi sosial, dimana yang kaa selalu lebih menguasai segala
sesuatu yang ada di masyarakat, dan prospek inilah yang menjadikan yang kaya
dengan yang kaya dan yang misin dengan yang miskin. Tidak seperti kesenjangan
ekonomi, kesenjangan sosial cukup sulit diukur secara kuantitatif. Jadi, sulit
menunjukkan bukti-bukti secara akurat. Namun, tidaklah berarti kesenjangan
sosial dapat begitu saja diabaikan dan dianggap tidak berpengaruh terhadap
perkembangan atau perubahan masyarakat bangsa.
Untuk mempermudah pembahasan, sebelumnya saya akan
memberikan penjelasan tentang kesenjangan sosial. kesenjangan sosial dapat diartikan
sebagai kesenjangan (ketimpangan) atau ketidaksamaan akses untuk mendapatkan
atau memanfaatkan sumber daya yang tersedia. Sumber daya bisa berupa kebutuhan
primer, seperti pendidikan, kesehatan, perumahan, peluang berusaha dan kerja,
dapat berupa kebutuhan sekunder, seperti sarana pengembangan usaha, sarana
perjuangan hak azasi, sarana saluran politik, pemenuhan pengembangan karir, dan
lain-lain. Jadi kesenjangan sosial dalam masyarakat itu dapat juga diartikan
sebagai ketimpangan ketimpangan dalam kehidupan sehari hari, dimana suatu
kelompok tertentu lebih mendominasi sumber daya yang tersedia, tampa
memperhatikan di sekitarnya, dan itu terus terjadi secara terus menerus
sehinggan terjadilah diskriminasi di dalam masyarakat, yang memicu kepada
kesenjangan sosial tadi. Dimana Kesenjangan sosial ini dari hari ke hari makin
terasa dalam kehidupan kita sehari-hari, baik kita sadari ataupun tidak.
Kesenjangan sosial ini selalu terlihat di pelupuk mata kita, terutama bagi
orang-orang yang bermukim di daerah perkotaan. Dimana semuanya begitu terasa
kontras, antara perbedaan si kaya dan si miskin. Namun, entah mengapa keadaan
yang demikan di perkotaan tersebut tetap saja mempunyai daya tarik tersendiri
bagi warga pedesaan untuk datang ke kota.
Katanya sih untuk “mengadu nasip” tapi apakah mungkin di zaman yang serba sulit
ini orang-orang yang tanpa pendidikan dan keahlian khusus dapat merubah
hidupnya semudah itu?? Tentu tidak, malahan hal ini hanya akan memperburuk
keadaan yang sudah buruk ini. Hal
ini hanya akan membuat kesenjangan tersebut makin menjadi, ibarat kata “ yang
kaya makin kaya, yang miskin makin miskin”.
Dapat kita lihat dalam kehidupan sehari-hari
bagaimana kesenjangan sosial ini begitu mengiris hati. Disaat rakyat
miskin susah mencari uang untuk sesuap nasi yang akan mereka konsumsi, namun
para elit politik yang katanya adalah wakil rakyat yang berjuang demi rakyat
malah berleha-leha keluar negri dengan alasan study banding yang tidak jelas
apa gunanya, mereka sama sekali tidak berfikir berapa jumlah rakyatnya yang
dapat diselamatkan dengan uang yang mereka hamburkan. Sangat sedikit sekali
para elit politik yang menyadari hal ini. Betapa tidak miris bila kita melihat
bagaimana orang-orang kaya tersebut mengahamburkan uang mereka, padahal
disekeliling mereka begitu banyak orang melarat. Tak ada yang peduli dengan
kemerosotan ekonomi negara ini dan kesulitan rakyat miskin, tetap saja
penjualan mobil-mobil mewah dengan harga fantastis meningkat dari tahun ke
tahun. Begitu banyak restoran mewah yang tersebar di ibu kota dengan sajiannya yang berharga fantastis
yang pastinya dinikmati oleh para golongan elit tanpa mereka sadari saudara
mereka yang tak bisa makan bahkan sekali sehari saja. Bagi si kaya
bukanlah masalah bila harus merogoh kocek jutaan rupiah untuk membeli baju
bermerek atau bahkan rancangan desainer ternama dengan harga hingga puluhan
juta, tanpa sedikit pun mereka teringat akan si miskin yang memakai baju yang
tak layak sama sekali. Apalagi bila kita mendengar bagai mana mewahnya kehidupan
para koruptor yang telah mencuri uang rakyat dalam harga yang fantastis tanpa
menerima hukuman sedikitpun, padahal rakyat biasa yang hanya mencuri ayam atau
jemuran saja dapat dihukum berbulan-bulan. Jadi dimanakah keadilan dinegara
ini?? Yang katanya adalah negara berdasarkan hukum. Realitanya hukum tersebut
hanya berlaku bagi rakyat biasa yang tak memiliki kekuasaan dan daya apapun.
Namun bagi mereka yang beruang semuanya dapat dibeli bahkan hukum
sekalipun. Dan ini sudah
jelasjelas menunjukkan bahwa di dalam hukum itu sendiri telah terjadi
kesejangan.
Namun, kesenjangan sosial dapat disebabkan oleh
adanya faktor-faktor penghambat sehingga mencegah dan menghalangi seseorang
untuk memanfaatkan akses atau kesempatan-kesempatan yang tersedia di dalam
lingkungannya sendiri. Faktor faktor penghambat seseorang dalam
penggunaan sumber daya yang ada adalah faktor-faktor yang berasal dari dalam
diri seseorang (faktor internal). Rendahnya kualitas sumberdaya manusia karena
tingkat pendidikan (keterampilan) atau kesehatan rendah atau ada hambatan
budaya (budaya kemiskinan). Kesenjangan sosial dapat muncul sebagai akibat dari
nilai-nilai kebudayaan yang dianut oleh sekelompok orang itu sendiri. Akibatnya,
cenderung menyerah pada nasib, tidak mempunyai daya juang. Namun ada juga
faktor-faktor yang berasal dari luar kemampuan seseorang. Hal ini dapat terjadi
karena birokrasi atau ada peraturan-peraturan resmi (kebijakan) yang di anut
oleh suatu daerah tertentu, sehingga dapat membatasi atau memperkecil akses
seseorang untuk memanfaatkan kesempatan dan peluang yang tersedia. Dengan kata
lain, kesenjangan sosial bukan terjadi karena seseorang malas bekerja atau
tidak mempunyai kemampuan sebagai akibat keterbatasan atau rendahnya kualitas
sumberdaya manusia, tetapi karena ada hambatan-hambatan atau tekanan-tekanan
struktural. Kesenjangan sosial ini merupakan salah satu penyebab munculnya kemiskinan,
yag memicu kepada masalah pembangunan dan perkembangan masyarakat yang tidk
adanya pemerataan, seperti yang telah di utarakan dalam sila ke lima pancasila, yang berbunyi ”Keadilan Sosial Bagi
Seluruh Rakat Indonesia”.
Disebutkan
keadilan sosial bagi seluruh rakyat indonesia harusnya tidak lah
terjadi kesenjangan kesenjangan sosial, terutama dalam hal untuk kesejahteraan
rakyat. Namun bagimana lagi kita akan merasakan kesejahteraan jika kesenjangan
kesenjangan sosial ini tidak dapat kita atasi, biarun itu satu demi satu,
misalkan mulai dari kesenjangan dalam bidang politik, kesenjangan dalam bidang
pendidikan dan seterusnya.
Permasalahan dibidang
kesenjangan sosial
Seiring dengan
pergeseran paradigma pembangunan, Bangsa Indonesia saat ini masih terus
dihadapkan pada aneka permasalahan yang menjadi beban sosial yang berat, baik
bobot maupun kompleksitasnya. Masalah sosial tersebut meliputi:
Kemiskinan
Kemiskinan telah menjadi fenomena sosial yang
menuntut perhatian serius dari semua pihak, baik pemerintah maupun masyarakat. Dalam
hal ini, yang dimaksud dengan kemiskinan adalah tidak terpenuhinya kebutuhan
dasar manusia seperti pangan, sandang,
perumahan, pendidikan, kesehatan, dan interaksi sosial. Itulah sebabnya
masalah kemiskinan dapat muncul sebagai penyebab maupun pemberat berbagai jenis
permasalahan kesejahteraan sosial lainnya seperti ketunaan sosial,kecacatan,
keterlantaran, ketertinggalan/keterpencilan dan keresahan sosial, yang pada
umumnya berkenaan dengan keterbatasan kemampuan untukmengakses berbagai sumber
pelayanan sosial dasar.
Jumlah penduduk fakir miskin di Indonesia pada
tahun 2004 sebanyak 14,8 juta jiwa. Pada tahun 2003 jumlah penduduk fakir
miskin mencapai sebanyak 15,8 juta jiwa.
Gambaran tersebut menunjukkan
bahwa terjadi penurunan jumlah penduduk fakir miskin.
Penurunan jumlah penduduk fakir miskin selama periode 2003 – 2004 terjadi
sejalan dengan makin berkurangnya jumlah
penduduk miskin. Jumlah penduduk miskin dari 37,4 juta jiwa pada tahun 2003
berkurang menjadi 36,1 juta jiwa pada tahun 2004. Dibandingkan dengan tahun
2003, maka terjadi penurunan jumlah penduduk fakir miskin sebesar 1 juta jiwa
atau sebesar 6,4 persen. Selain faktor keberhasilan pemerintah dalam
menyelenggarakan berbagai program pengentasan kemiskinan oleh berbagai
instansi, juga dipengaruhi oleh kondisi perekonomian yang mulai membaik dan
situasi politik yang kondusif dan nilai rupiah yang stabil. Kontribusi Depsos
untuk program pemberdayaan fakir miskin antara lain melakukan terobosan yang
melibatkan instansi terkait, dunia usaha dan LSM.
Walaupun terjadi penurunan jumlah, namun
dibandingkan dengan jumlah penduduk Indonesia, maka masalah kemiskinan
merupakan masalah yang masih sulit ditanggulangi, karena mayoritas termasuk
kategori kemiskinan kronis (chronic poverty) yang terjadi terus menerus atau disebut
juga sebagai kemiskinan struktural. Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS)
yang dikategorikan sebagai Fakir Miskin termasuk kategorikemiskinan kronis,
yang membutuhkan penanganan yang sungguh-sungguh, terpadu secara lintas sektor
dan berkelanjutan. Selain itu terdapat sejumlah penduduk yang dikategorikan
mengalami kemiskinan sementara (transient poverty) yang ditandai dengan
menurunnya pendapatan dan kesejahteraan masyarakat secara sementara sebagai
akibat dari perubahan kondisi normal menjadi kondisi kritis, bencana alam dan
bencana sosial, seperti korban konflik sosial. Kemiskinan sementara jika tidak
ditangani serius dapat menjadi kemiskinan kronis. Faktor-faktor penyebab
terjadinya kemiskinan dapat disebabkan faktor internal (ketidakmampuan dalam
memenuhi kebutuhan dasar sehari-hari, ketidak mampuan dalam menampilkan peranan
sosial dan ketidak mampuan dalam mengatasi masalah-masalah sosial yang
dihadapinya) dan faktor eksternal (kebijakan publik yang belum berpihak kepada penduduk
miskin, tidak tersedianya pelayanan sosial dasar, tidak dilindunginya hak atas kepemilikan
tanah, terbatasnya lapangan pekerjaan, belum terciptanya sistim ekonomi kerakyatan,
kesenjangan dan ketidakadilan sosial, serta dampak pembangunan yang
berorientasi kapitalis. Dalam keadaan penduduk miskin tidak berdaya dalam
menghadapi masalah internal dan eksternal, maka masalah kemiskinan yang
dialaminya menjadi semakin sulit ditangani,
karena beresiko menjadi kemiskinan budaya (culture poverty), tidak ada
kemauan/ pasrah/ patah semangat (fatalistik) dan dalam keadaan situasi kritis cenderung
melakukan tindakan a-sosial, berperilaku desktruktif atau melakukan tindak
kriminal.
Padahal Pembukaan UUD-45 mengamanatkan pemerintah
Indonesia agar memajukan kesejahteraan umum mencerdaskan bangsa. Jiwa dan
semangat Pasal 33 UUD-45 menghendaki agar semua produksi dan faktor produksi
serta hak-milik perseorangan haruslah mempunyai fungsi sosial untuk
sebesar-besarnya kemakmuran bersama
Keterlantaran
Keterlantaran disini dimaksudkan pengabaian/penelantaran anak-anak dan
orang lanjut usia karena berbagai sebab. Kita semua sependapat bahwa anak
merupakan asset dan generasi penerus bangsa yang perlu ditingkatkan kualitasnya
agar mampu bersaing dalam era globalisasi. Cukup banyak anak-anak yang
mengalami keterlantaran karena
ketidak mampuan orang tua untuk memenuhi kewajibannya atau memang mereka
melalaikan kewajiban sebagaimana mestinya, sehingga kebutuhan dan hak anak tidak
dapat terpenuhi secara wajar baik jasmani, rohani maupun sosial.
Masalah keterlantaran dialami oleh banyak anak-anak
sejak usia balita sampai usia sekolah, remaja dan pemuda. Pada tahun 2004,
diperoleh data bahwa jumlah anak terlantar di Indonesia sekitar 3,3 juta anak.
Selain itu tercatat 10,3 juta anak rawan terlantar atau 17,6% dari jumlah
seluruh anak (58,7 juta) di Indonesia. Fenomena lain dari anak terlantar adalah
munculnya anak jalanan yang saat ini diperkirakan jumlahnya lebih dari 98 ribu
anak, dan selain itu kini kita menghadapi kenyataan meningkatnya populasi anak
yang menghadapi perlakuan salah yaitu anak-anak yang terpaksa bekerja
ditempat-tempat yang memiliki resiko tinggi.
Seperti halnya permasalahan anak terlantar, maka
permasalahan utama yang dihadapi Departemen Sosial adalah pemenuhan hak dan
kebutuhan anak sesuai dengan ketentuan Undang- Undang No: 4 tahun 1979 tentang
Kesejahteraan Anak dan Undang-Undang No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan
Anak. Adalah hak anak untuk mendapatkan perlindungan dari berbagai kegiatan
yang dapat mengganggu pertumbuhannya, baik secara pisik, mental maupun sosial. Hal
ini perlu mendapatkan perhatian pemerintah, karena kondisi tersebut akan
berakibat tumbuhnya kualitas SDM Indonesia yang rendah dan tidak mampu
menghadapi persaingan global. Berbagai kebijakan dan program perlu
ditumbuhkembangkan secara berkelanjutan agar dapat menciptakan situasi dan
kondisi yang kondusif bagi perkembangan anak, yang merupakan amanah konstitusi
untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, dan membangun masa depan bangsa. Aspek
lain yang perlu memperoleh perhatian khusus dalam kaitan dengan masalah
keterlantaran adalah jumlah orang lanjut usia yang kecenderungannya semakin
meningkat. Kompleksitas permasalahannya semakin bertambah, padahal,
keberhasilan pembangunan tercermin antara lain dengan semakin meningkatnya
jumlah lanjut usia didalam struktur kependudukan. Jumlah manusia lanjut usia
pada tahun 2000 telah meningkat menjadi 15,3 juta jiwa atau 7,6% dari jumlah
penduduk dan pada tahun 2005 manusia lanjut usia diperkirakan akan meningkat
menjadi 19 juta orang atau 8,5% dari jumlah penduduk. Fakta ini akan sangat berdampak
pada tuntutan peningkatan kesejahteraan keluarga. Masalah yang harus dihadapi pemerintah
adalah bagaimana mengembalikan para anak anak terlantar ke yang semestinya,
seperti halnya yang dilakukan oleh para anak seperti biasanya, mereka juga
perlu bermain, agar proses dari perkembangan anak itu terpenuhi, memeng benar
inilah yang di sebut dengan kesenjangan sosial, namun kita harus menghilangkan
kesenjangan sosial tersebut dari jiwa para anak anak terlantar, karena
merekalah yang akan menjadi penerus bangsa, merekalah para akar akar bangsa,
merekalah pohon pohon bangsa ini yang nantinya akan menghasilkan buah, yaitu
kesejahteraan. Namun begitu juga bagaimana meningkatkan pelayanan sosial bagi para lanjut
usia agar mereka dapat hidup bahagia dalam suasana aman dan tenteram yang tentu
saja melalui usaha pelembagaan para lanjut usia.
Keterperincian / ketertinggalan
Selain masalah kesejahteraan sosial yang terkait
dengan kemiskinan, ada pula masalah isolasi alam yaitu keterpencilan dan
keterasingan yang berakibat pada ketertinggalan yang dialami oleh sekitar
267.795KK Komunitas Adat Terpencil tersebar di 2811 lokasi, 2328 desa, 807
kecamatan, 211 kabupaten di 27 propinsi (Pusdatin Kesos, 2004).
Kenyataan menunjukkan bahwa dalam kehidupan
masyarakat Indonesia masih terdapat kelompok-kelompok masyarakat yang belum
sepenuhnya terjangkau oleh proses pelayanan pembangunan baik karena isolasi
alam maupun isolasi sosial budaya. Dengan demikian, mereka belum atau kurang
mendapatkan akses pelayanan sosial dasar. Keadaan ini dapat menghambat proses
pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya menuju ke arah tercapainya keadilan
sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Masalah keterpencilan dan ketertinggalan
yang selama ini hanya dikaitkan dengan soal kemiskinan; dalam arus perubahan
yang cepat, telah menjadi masalah kompleks. Ketertinggalan dan keterpencilan
berjalan seiring dengan masalah yang terkait HAM,
Lingkungan, Integrasi Sosial, dan
berbagai kerentanan terhadap eksploitasi dan perlakuan
salah. Peralihan pemerintahan
dari Kabinet Gotong Royong ke Kabinet Indonesia Bersatu, merupakan rangkaian
dari keberlanjutan proses membangun Indonesia
sesuai dengan konsensus kolektif bangsa Indonesia ke depan. Berbagai persoalan bangsa dewasa ini, akan diatasi
secara simultan dengan melakukan “penguatan sistem pemerintahan dan ketatanegaraan
yang sejalan dengan jiwa, semangat, nilai, dan konsensus dasar pendirian Negara
Kebangsaan Indonesia”. Komitmen nasional ini mengamanatkan bahwa Indonesia ke depan
akan lebih mengacu pada upaya untuk mengatasi berbagai persoalan bangsa dengan lebih
menekankan pada perwujudan rasa aman, adil dan sejahtera bagi seluruh warga masyarakat.
Hal ini sejalan dengan komitmen Kabinet Indonesia Bersatu yang digariskan oleh
Presiden yakni kedamaian, keadilan dan kesejahteraan adalah tujuan pembangunan Indonesia
yang harus dicapai bersama. Di samping itu, disadari pula bahwa Indonesia saat
ini telah mengalami pergeseran sistem pemerintahan secara mendasar, dari sistem
yang bersifat sentralistik beralih kearah desentralistik dengan menekankan pada
pemberian otonomi yang seluas-luasnya namun bertanggung jawab kepada daerah
kabupaten dan kota sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang RI No. 32 Tahun
2004 tentang Pemerintahan Daerah. Pergeseran ini telah membawa perubahan secara
mendasar di bidang politik, ekonomi, dan sosial budaya yang ditandai oleh
tumbuhnya kesadaran politik masyarakat atas hak-haknya sebagai warga negara,
sistem pemerintahan yang lebih demokratis, semakin meningkatnya peranan
masyarakat dalam pembangunan, kebebasan berserikat, kebebasan menyampaikan
pendapat, perlindungan terhadap hak masyarakat dan iklim perekonomian yang
lebih kondusif.
Di samping perkembangan di atas, terdapat beberapa
kecenderungan yang kurang kondusif seperti: pemekaran daerah, baik
kabupaten/kota maupun propinsi baru, munculnya ego kewilayahan atas dasar
kesukuan, kedaerahan dan lain-lain, munculnya disparitas antar wilayah, sebagai
akibat dari terjadinya penguasaan kekayaan daerah secara otonom, terjadinya
diskontinuitas hubungan kerja antara Pemerintah Kabupaten/Kota dengan Propinsi
dan Pusat.
Gerakan reformasi tahun 1997 mengikuti pasca krisis telah menyebabkan
terjadinya berbagai perubahan secara fundamental dalam sistem ketatanegaraan. Perubahan
tersebut
antara lain : pertama, tuntutan
keadilan di bidang ekonomi di daerah semakin gencar didukung oleh munculnya
berbagai gerakan separatis di sebagian wilayah menjadi sebuah
ancaman disintegrasi nasional; kedua, sistem multi partai dengan jumlah
hingga puluhan, menyebabkan terjadinya kooptasi eskalasi politik mulai dari
akar rumput hingga` pada`
tingkat` elit` politik, yang akan
`menjadi` potensi meluasnya kepentingan kelompok yang
akhirnya akan merapuhkan kohesi
sosial dan akhirnya mengancam stabilitas nasional; ketiga, semakin hilangnya
identitas dan pembudayaan simbol-simbol integralistik seperti nasionalisme, patriotisme
dan penghargaan serta penghormatan terhadap simbol integrasi yang terefleksi pada
Pancasila dalam kehidupan berbangsa, bermasyarakat dan bernegara. Selanjutnya
telah mulai bermunculan simbol-simbol kedaerahan, kesukuan, agama, yang
kesemuanya mengarah pada sikap ethnocentrisme; keempat, munculnya gejala
kebebasan yang miskin kontrol, saling curiga, stigmatisasi kelompok atas
kelompok lainnya, serta terjadinya kristalisasi kelompok atas dasar
kepentingan. Yang lebih membahayakan
bagi kepentingan integrasi nasional manakala sikap tersebut merambah pada akar
rumput seperti konflik antar kampung, antar massa partai tertentu, antar
golongan, konflik antar suku yang merupakan contoh betapa hilangnya
simbol-simbol integralistik nasional pada tingkat akar rumput, yang pada akhirnya
akan memperburuk persatuan dan kesatuan bangsa. Nah disinilah seharusnya
pemerintah melihat kebelakang, apa kekurang efisiensiannya, janganlah sampai
jiwa pancasila negara, yang mengarah kepada hilangnya simbol-simbol
integralistik nasional pada tingkat akar rumput, yang pada akhirnya akan
memperburuk persatuan dan kesatuan bangsa.
Kebijakan Pembangunan dan Kesenjangan Sosial
Semenjak Orde Baru berkuasa, ada beberapa kebijakan yang diterapkan dalam
bidang ekonomi. Salah satu kebijakan adalah memacu pertumbuhan ekonomi dengan
mengeluarkan undang-undang Penanaman Modal Asing dengan memberikan persyaratan
dan peraturan-peraturan yang lebih ringan dan menarik kepada investor
dibandingkan dengan kebijakan sebelumnya. Kegiatan industri meningkat tajam dan
sangat pada GDP mengalami kenaikan dari sekitar 9 persen pada tahun 1970
menjadi sekitar 17 persen pada tahun 1992 (Booth dan McCawley, 1986:82 dan
Sjahrir 1993:16). Pertumbuhan ekonomi juga mengalami kenaikan. Pendek kata,
selama Orde Baru perekonomian mengalamii kemajuan pesat. Namun, bersamaan
dengan itu ketimpangan sosial atau sekelompok kecil masyarakat, terutama mereka
yang memiliki akses dengan penguasa politik dan ekonomi, sedangkan sebagian
besar yang kurang atau hanya memperoleh sedikit manfaat. Bahkan, ada masyarakat
merasa dirugikan dan tidak mendapat manfaat sama sekali. Kesenjangan sosial
semakin terasa mengkristal dengan munculnya gejala monopoli.
Monopoli dan oligopoly dan memperkecil akses usaha kecil untuk
menggambarkan usaha mereka. Menurut Revrisond Baswer (dikutip dalam Bernes
(1995:1) hampir seluruh cabang produksi dikuasai oleh perusahaan konglomerat.
Perusahaan-perusahaan besar konglomerat menguasai berbagai kegiatan produksi
murni dari produksi, eksploitasi hasil hutan, konstruksi, industri otomotif,
transpotasi, perhotelan, makanan, perbankan, jasa-jasa keuangan, dan media
komunikasi. Diperkirakan 200 konglomerat menguasai 58 persen PDB. Usaha-usaha
rakyat yang kebanyakan kecil dan tradisional hanya menguasai 8 persen.
Kesenjangan sosial ini tidak hanya mengganggu pertumbuhan ekonomi rakyat tetapi
menyebabkan ekonomi rakyat mengalami proses marjinalisasi.
Selain kebijakan ekonomi, kebijakan yang diduga turut menstrimulir
kesenjangan social adalah kebijakan penataan lahan (tata ruang). Penerapan
kebijakan penataan lahan selama ini belum dapat mendatangkan manfaat bagi
masyarakat. Berbagai kekuatan dan kepentingan telah mempengaruhi dalam
penerapan. Tarik menarik berbagai kekuatan dan kepentingan telah menimbulkan
konflik antara pengusaha besar dan masyarakat. Dalam konflik acapkali
kepentingan masyarakat (publik) diabaikan dan cenderung mengutamakan
kepentingan sekelompok orang (pengusaha). Penelitian Suhendar (1994)
menyimpulkan bahwa: ”Kooptasi tanah-tanah : terutama di pedesaan oleh kekuatan
besar ekonomi dan luar komunitas semakin menggejala. Pembangunan sektor ekonomi,
seperti pembangunan kawasan industri, pabrik-pabrik, sarana wisata telah
menyita banyak lahan penduduk. Demikian pula, instansi-instansi pemerintah
memerlukan tanah untuk pembangunan perkantoran, instruktural ekonomi, fasilitas
sosial, perumahan, dan lain-lain. Dalam banyak kasus, banyak tanah negara yang
selama ini dikuasai penduduk dengan status tidak jelas di jadikan sasaran dan
cara termudah untuk menggusur penduduk”.
Monopoli dan oligopoly dan memperkecil akses usaha kecil untuk
menggambarkan usaha mereka. Menurut Revrisond Baswer (dikutip dalam Bernes
(1995:1) hampir seluruh cabang produksi dikuasai oleh perusahaan konglomerat.
Perusahaan-perusahaan besar konglomerat menguasai berbagai kegiatan produksi
murni dari produksi, eksploitasi hasil hutan, konstruksi, industri otomotif,
transpotasi, perhotelan, makanan, perbankan, jasa-jasa keuangan, dan media
komunikasi. Diperkirakan 200 konglomerat menguasai 58 persen PDB. Usaha-usaha
rakyat yang kebanyakan kecil dan tradisional hanya menguasai 8 persen.
Kesenjangan sosial ini tidak hanya mengganggu pertumbuhan ekonomi rakyat tetapi
menyebabkan ekonomi rakyat mengalami proses marjinalisasi.
Selain kebijakan ekonomi, kebijakan yang diduga turut menstrimulir
kesenjangan social adalah kebijakan penataan lahan (tata ruang). Penerapan
kebijakan penataan lahan selama ini belum dapat mendatangkan manfaat bagi
masyarakat. Berbagai kekuatan dan kepentingan telah mempengaruhi dalam
penerapan. Tarik menarik berbagai kekuatan dan kepentingan telah menimbulkan
konflik antara pengusaha besar dan masyarakat. Dalam konflik acapkali
kepentingan masyarakat (publik) diabaikan dan cenderung mengutamakan
kepentingan sekelompok orang (pengusaha). Penelitian Suhendar (1994)
menyimpulkan bahwa: ”Kooptasi tanah-tanah : terutama di pedesaan oleh kekuatan
besar ekonomi dan luar komunitas semakin menggejala. Pembangunan sektor ekonomi,
seperti pembangunan kawasan industri, pabrik-pabrik, sarana wisata telah
menyita banyak lahan penduduk. Demikian pula, instansi-instansi pemerintah
memerlukan tanah untuk pembangunan perkantoran, instruktural ekonomi, fasilitas
sosial, perumahan, dan lain-lain. Dalam banyak kasus, banyak tanah negara yang
selama ini dikuasai penduduk dengan status tidak jelas di jadikan sasaran dan
cara termudah untuk menggusur penduduk”.
Dampak dari penerapan kebijakan penatagunaan lahan antara lain adalah
terjadinya marjinalisasi dan pemiskinan masyarakat desa yang tanahnya
dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan yang dalam banyak hal belum dan kurang
dapat memberikan keuntungan ekonomis bagi rakyat
Penutup
Berdasarkan uraian di atas
memberikan pandangan tentang kinerja pemerintah yang masih harus terus
ditingkatkan lagi, dan benar-benar memperhatikan kondisi kesenjangan di
lingkungan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.Agar setiap rakyat
indonesia dapat memiliki penghidupan yang layak dan bertanggung jawab,.
Sebagaimana dari fungsi negara itu sendiri yang harus menyejahterakan
masyarakat sesuai UUD 1945 yaitu memajukan keseahteraan umum dan mencerdaskan
kehidupan bangsa. Memang benar Kesenjangan sosial merupakan sesuatu yang
menjadi sebuah momok atau tugas besar bagi pemerintah untuk diselesaikan.
Dimana kesenjangan sosial merupakan masalah yang sukar untuk diselesaikan
kerena menyangkut aspek-aspek yang harus diketahui secara mendalam dan
pendekatan lebih dalam serta adanya saling keterkaitan berbagai aspek.
Kesenjangan sosial sebuah keadaan ketidak seimbangan sosial yang ada di
masyarakat, nah namun disinilah seharusnya pemerintah melihat kebelakang, apa
kekurang efisiensiannya, janganlah sampai jiwa pancasila negara, yang mengarah
kepada hilangnya simbol-simbol integralistik nasional pada tingkat akar rumput,
yang pada akhirnya akan memperburuk persatuan dan kesatuan bangsa.
Namun supaya keadilan, kesejahteraan bisa terwujud serta merata adalah
merupakan tanggung jawab kita bersama maka mulailah dengan diri kita sendiri
dengan peduli dengan sesama. Agar apa yang di anut oleh sila ke lima pancasila
yaitu ”keadilan sosial
bagi seluruh rakyat indonesia” terpenuhi sesuai dengan cita cita dan harapan
bangsa.
DAFTAR PUSTAKA
http://id.wikipedia.org/wiki/Kemiskinanhttp://ekkyleecaolan.wordpress.com/2011/11/04/kesenjangan-sosial-di-dalam-masyarakat
www.google.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar