Kamis, 08 November 2012

KEADILAN SOSIAL BAGI SELURUH RAKYAT INDONESIA




Yang Kaya dengan Yang Kaya Yang Miskin dengan Yang Miskin  dalam Potret Kehidupan Masyarakat





Latar Belakang Masalah
Yang kaya dengan yang kaya dan yang miskin denan yang miskin, mugkin dari judul tersebut kita sudah dapat menggambarkan tentang bahasan saya kali ini. kesenjangan sosial. Yang namanya kesenjangan sosial memang selalu terjadi, mungkin diseluruh masyarakat dunia sekalipun, itu pasti sudah terjadi. Beberapa pakar dan pengamat masalah sosial menduga bahwa diskriminasi sosial berkaitan dengan kesenjangan sosial. Ada yang sependapat dengan dugaan itu, tetapi ada yang belum yakin bahwa penyebab diskriminasi sosial adalah kesenjangan sosial. memang tidaklah mudah untuk di punkiri mengenai kesenjangan sosial dengan diskriminasi sosial, dimana yang kaa selalu lebih menguasai segala sesuatu yang ada di masyarakat, dan prospek inilah yang menjadikan yang kaya dengan yang kaya dan yang misin dengan yang miskin. Tidak seperti kesenjangan ekonomi, kesenjangan sosial cukup sulit diukur secara kuantitatif. Jadi, sulit menunjukkan bukti-bukti secara akurat. Namun, tidaklah berarti kesenjangan sosial dapat begitu saja diabaikan dan dianggap tidak berpengaruh terhadap perkembangan atau perubahan masyarakat bangsa.
Untuk mempermudah pembahasan, sebelumnya saya akan memberikan penjelasan tentang kesenjangan sosial.  kesenjangan sosial dapat diartikan sebagai kesenjangan (ketimpangan) atau ketidaksamaan akses untuk mendapatkan atau memanfaatkan sumber daya yang tersedia. Sumber daya bisa berupa kebutuhan primer, seperti pendidikan, kesehatan, perumahan, peluang berusaha dan kerja, dapat berupa kebutuhan sekunder, seperti sarana pengembangan usaha, sarana perjuangan hak azasi, sarana saluran politik, pemenuhan pengembangan karir, dan lain-lain. Jadi kesenjangan sosial dalam masyarakat itu dapat juga diartikan sebagai ketimpangan ketimpangan dalam kehidupan sehari hari, dimana suatu kelompok tertentu lebih mendominasi sumber daya yang tersedia, tampa memperhatikan di sekitarnya, dan itu terus terjadi secara terus menerus sehinggan terjadilah diskriminasi di dalam masyarakat, yang memicu kepada kesenjangan sosial tadi. Dimana Kesenjangan sosial ini dari hari ke hari makin terasa dalam kehidupan kita sehari-hari, baik kita sadari ataupun tidak. Kesenjangan sosial ini selalu terlihat di pelupuk mata kita, terutama bagi orang-orang yang bermukim di daerah perkotaan. Dimana semuanya begitu terasa kontras, antara perbedaan si kaya dan si miskin. Namun, entah mengapa keadaan yang demikan di perkotaan tersebut tetap saja mempunyai daya tarik tersendiri bagi warga pedesaan untuk datang ke kota. Katanya sih untuk “mengadu nasip” tapi apakah mungkin di zaman yang serba sulit ini orang-orang yang tanpa pendidikan dan keahlian khusus dapat merubah hidupnya semudah itu?? Tentu tidak, malahan hal ini hanya akan memperburuk keadaan yang sudah buruk ini. Hal ini hanya akan membuat kesenjangan tersebut makin menjadi, ibarat kata “ yang kaya makin kaya, yang miskin makin miskin”.
Dapat kita lihat dalam kehidupan sehari-hari bagaimana kesenjangan sosial ini begitu mengiris hati. Disaat rakyat miskin susah mencari uang untuk sesuap nasi yang akan mereka konsumsi, namun para elit politik yang katanya adalah wakil rakyat yang berjuang demi rakyat malah berleha-leha keluar negri dengan alasan study banding yang tidak jelas apa gunanya, mereka sama sekali tidak berfikir berapa jumlah rakyatnya yang dapat diselamatkan dengan uang yang mereka hamburkan. Sangat sedikit sekali para elit politik yang menyadari hal ini. Betapa tidak miris bila kita melihat bagaimana orang-orang kaya tersebut mengahamburkan uang mereka, padahal disekeliling mereka begitu banyak orang melarat. Tak ada yang peduli dengan kemerosotan ekonomi negara ini dan kesulitan rakyat miskin, tetap saja penjualan mobil-mobil mewah dengan harga fantastis meningkat dari tahun ke tahun. Begitu banyak restoran mewah yang tersebar di ibu kota dengan sajiannya yang berharga fantastis yang pastinya dinikmati oleh para golongan elit tanpa mereka sadari saudara mereka yang tak bisa makan bahkan sekali sehari  saja. Bagi si kaya bukanlah masalah bila harus merogoh kocek jutaan rupiah untuk membeli baju bermerek atau bahkan rancangan desainer ternama dengan harga hingga puluhan juta, tanpa sedikit pun mereka teringat akan si miskin yang memakai baju yang tak layak sama sekali. Apalagi bila kita mendengar bagai mana mewahnya kehidupan para koruptor yang telah mencuri uang rakyat dalam harga yang fantastis tanpa menerima hukuman sedikitpun, padahal rakyat biasa yang hanya mencuri ayam atau jemuran saja dapat dihukum berbulan-bulan. Jadi dimanakah keadilan dinegara ini?? Yang katanya adalah negara berdasarkan hukum. Realitanya hukum tersebut hanya berlaku bagi rakyat biasa yang tak memiliki kekuasaan dan daya apapun. Namun bagi mereka yang beruang semuanya dapat dibeli bahkan hukum sekalipun. Dan ini sudah jelasjelas menunjukkan bahwa di dalam hukum itu sendiri telah terjadi kesejangan.
Namun, kesenjangan sosial dapat disebabkan oleh adanya faktor-faktor penghambat sehingga mencegah dan menghalangi seseorang untuk memanfaatkan akses atau kesempatan-kesempatan yang tersedia di dalam lingkungannya sendiri. Faktor faktor penghambat seseorang dalam penggunaan sumber daya yang ada adalah faktor-faktor yang berasal dari dalam diri seseorang (faktor internal). Rendahnya kualitas sumberdaya manusia karena tingkat pendidikan (keterampilan) atau kesehatan rendah atau ada hambatan budaya (budaya kemiskinan). Kesenjangan sosial dapat muncul sebagai akibat dari nilai-nilai kebudayaan yang dianut oleh sekelompok orang itu sendiri. Akibatnya, cenderung menyerah pada nasib, tidak mempunyai daya juang. Namun ada juga faktor-faktor yang berasal dari luar kemampuan seseorang. Hal ini dapat terjadi karena birokrasi atau ada peraturan-peraturan resmi (kebijakan) yang di anut oleh suatu daerah tertentu, sehingga dapat membatasi atau memperkecil akses seseorang untuk memanfaatkan kesempatan dan peluang yang tersedia. Dengan kata lain, kesenjangan sosial bukan terjadi karena seseorang malas bekerja atau tidak mempunyai kemampuan sebagai akibat keterbatasan atau rendahnya kualitas sumberdaya manusia, tetapi karena ada hambatan-hambatan atau tekanan­-tekanan struktural. Kesenjangan sosial ini merupakan salah satu penyebab munculnya kemiskinan, yag memicu kepada masalah pembangunan dan perkembangan masyarakat yang tidk adanya pemerataan, seperti yang telah di utarakan dalam sila ke lima pancasila, yang berbunyi ”Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakat Indonesia”.






Disebutkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat indonesia harusnya tidak lah terjadi kesenjangan kesenjangan sosial, terutama dalam hal untuk kesejahteraan rakyat. Namun bagimana lagi kita akan merasakan kesejahteraan jika kesenjangan kesenjangan sosial ini tidak dapat kita atasi, biarun itu satu demi satu, misalkan mulai dari kesenjangan dalam bidang politik, kesenjangan dalam bidang pendidikan dan seterusnya.

Permasalahan dibidang kesenjangan sosial
Seiring dengan pergeseran paradigma pembangunan, Bangsa Indonesia saat ini masih terus dihadapkan pada aneka permasalahan yang menjadi beban sosial yang berat, baik bobot maupun kompleksitasnya. Masalah sosial tersebut meliputi:
Kemiskinan

Kemiskinan telah menjadi fenomena sosial yang menuntut perhatian serius dari semua pihak, baik pemerintah maupun masyarakat. Dalam hal ini, yang dimaksud dengan kemiskinan adalah tidak terpenuhinya kebutuhan dasar manusia seperti pangan, sandang,
perumahan, pendidikan, kesehatan, dan interaksi sosial. Itulah sebabnya masalah kemiskinan dapat muncul sebagai penyebab maupun pemberat berbagai jenis permasalahan kesejahteraan sosial lainnya seperti ketunaan sosial,kecacatan, keterlantaran, ketertinggalan/keterpencilan dan keresahan sosial, yang pada umumnya berkenaan dengan keterbatasan kemampuan untukmengakses berbagai sumber pelayanan sosial dasar.
Jumlah penduduk fakir miskin di Indonesia pada tahun 2004 sebanyak 14,8 juta jiwa. Pada tahun 2003 jumlah penduduk fakir miskin mencapai sebanyak 15,8 juta jiwa.
Gambaran tersebut menunjukkan bahwa terjadi penurunan jumlah penduduk fakir miskin.
Penurunan jumlah penduduk fakir miskin selama periode 2003 – 2004 terjadi sejalan dengan makin  berkurangnya jumlah penduduk miskin. Jumlah penduduk miskin dari 37,4 juta jiwa pada tahun 2003 berkurang menjadi 36,1 juta jiwa pada tahun 2004. Dibandingkan dengan tahun 2003, maka terjadi penurunan jumlah penduduk fakir miskin sebesar 1 juta jiwa atau sebesar 6,4 persen. Selain faktor keberhasilan pemerintah dalam menyelenggarakan berbagai program pengentasan kemiskinan oleh berbagai instansi, juga dipengaruhi oleh kondisi perekonomian yang mulai membaik dan situasi politik yang kondusif dan nilai rupiah yang stabil. Kontribusi Depsos untuk program pemberdayaan fakir miskin antara lain melakukan terobosan yang melibatkan instansi terkait, dunia usaha dan LSM.
Walaupun terjadi penurunan jumlah, namun dibandingkan dengan jumlah penduduk Indonesia, maka masalah kemiskinan merupakan masalah yang masih sulit ditanggulangi, karena mayoritas termasuk kategori kemiskinan kronis (chronic poverty) yang terjadi terus menerus atau disebut juga sebagai kemiskinan struktural. Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS) yang dikategorikan sebagai Fakir Miskin termasuk kategorikemiskinan kronis, yang membutuhkan penanganan yang sungguh-sungguh, terpadu secara lintas sektor dan berkelanjutan. Selain itu terdapat sejumlah penduduk yang dikategorikan mengalami kemiskinan sementara (transient poverty) yang ditandai dengan menurunnya pendapatan dan kesejahteraan masyarakat secara sementara sebagai akibat dari perubahan kondisi normal menjadi kondisi kritis, bencana alam dan bencana sosial, seperti korban konflik sosial. Kemiskinan sementara jika tidak ditangani serius dapat menjadi kemiskinan kronis. Faktor-faktor penyebab terjadinya kemiskinan dapat disebabkan faktor internal (ketidakmampuan dalam memenuhi kebutuhan dasar sehari-hari, ketidak mampuan dalam menampilkan peranan sosial dan ketidak mampuan dalam mengatasi masalah-masalah sosial yang dihadapinya) dan faktor eksternal (kebijakan publik yang belum berpihak kepada penduduk miskin, tidak tersedianya pelayanan sosial dasar, tidak dilindunginya hak atas kepemilikan tanah, terbatasnya lapangan pekerjaan, belum terciptanya sistim ekonomi kerakyatan, kesenjangan dan ketidakadilan sosial, serta dampak pembangunan yang berorientasi kapitalis. Dalam keadaan penduduk miskin tidak berdaya dalam menghadapi masalah internal dan eksternal, maka masalah kemiskinan yang dialaminya menjadi semakin sulit ditangani,
karena beresiko menjadi kemiskinan budaya (culture poverty), tidak ada kemauan/ pasrah/ patah semangat (fatalistik) dan dalam keadaan situasi kritis cenderung melakukan tindakan a-sosial, berperilaku desktruktif atau melakukan tindak kriminal.
Padahal Pembukaan UUD-45 mengamanatkan pemerintah Indonesia agar memajukan kesejahteraan umum mencerdaskan bangsa. Jiwa dan semangat Pasal 33 UUD-45 menghendaki agar semua produksi dan faktor produksi serta hak-milik perseorangan haruslah mempunyai fungsi sosial untuk sebesar-besarnya kemakmuran bersama
Keterlantaran


Keterlantaran disini dimaksudkan pengabaian/penelantaran anak-anak dan orang lanjut usia karena berbagai sebab. Kita semua sependapat bahwa anak merupakan asset dan generasi penerus bangsa yang perlu ditingkatkan kualitasnya agar mampu bersaing dalam era globalisasi. Cukup banyak anak-anak yang mengalami keterlantaran karena
ketidak mampuan orang tua untuk memenuhi kewajibannya atau memang mereka melalaikan kewajiban sebagaimana mestinya, sehingga kebutuhan dan hak anak tidak dapat terpenuhi secara wajar baik jasmani, rohani maupun sosial.
Masalah keterlantaran dialami oleh banyak anak-anak sejak usia balita sampai usia sekolah, remaja dan pemuda. Pada tahun 2004, diperoleh data bahwa jumlah anak terlantar di Indonesia sekitar 3,3 juta anak. Selain itu tercatat 10,3 juta anak rawan terlantar atau 17,6% dari jumlah seluruh anak (58,7 juta) di Indonesia. Fenomena lain dari anak terlantar adalah munculnya anak jalanan yang saat ini diperkirakan jumlahnya lebih dari 98 ribu anak, dan selain itu kini kita menghadapi kenyataan meningkatnya populasi anak yang menghadapi perlakuan salah yaitu anak-anak yang terpaksa bekerja ditempat-tempat yang memiliki resiko tinggi.





Seperti halnya permasalahan anak terlantar, maka permasalahan utama yang dihadapi Departemen Sosial adalah pemenuhan hak dan kebutuhan anak sesuai dengan ketentuan Undang- Undang No: 4 tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak dan Undang-Undang No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Adalah hak anak untuk mendapatkan perlindungan dari berbagai kegiatan yang dapat mengganggu pertumbuhannya, baik secara pisik, mental maupun sosial. Hal ini perlu mendapatkan perhatian pemerintah, karena kondisi tersebut akan berakibat tumbuhnya kualitas SDM Indonesia yang rendah dan tidak mampu menghadapi persaingan global. Berbagai kebijakan dan program perlu ditumbuhkembangkan secara berkelanjutan agar dapat menciptakan situasi dan kondisi yang kondusif bagi perkembangan anak, yang merupakan amanah konstitusi untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, dan membangun masa depan bangsa. Aspek lain yang perlu memperoleh perhatian khusus dalam kaitan dengan masalah keterlantaran adalah jumlah orang lanjut usia yang kecenderungannya semakin meningkat. Kompleksitas permasalahannya semakin bertambah, padahal, keberhasilan pembangunan tercermin antara lain dengan semakin meningkatnya jumlah lanjut usia didalam struktur kependudukan. Jumlah manusia lanjut usia pada tahun 2000 telah meningkat menjadi 15,3 juta jiwa atau 7,6% dari jumlah penduduk dan pada tahun 2005 manusia lanjut usia diperkirakan akan meningkat menjadi 19 juta orang atau 8,5% dari jumlah penduduk. Fakta ini akan sangat berdampak pada tuntutan peningkatan kesejahteraan keluarga. Masalah yang harus dihadapi pemerintah adalah bagaimana mengembalikan para anak anak terlantar ke yang semestinya, seperti halnya yang dilakukan oleh para anak seperti biasanya, mereka juga perlu bermain, agar proses dari perkembangan anak itu terpenuhi, memeng benar inilah yang di sebut dengan kesenjangan sosial, namun kita harus menghilangkan kesenjangan sosial tersebut dari jiwa para anak anak terlantar, karena merekalah yang akan menjadi penerus bangsa, merekalah para akar akar bangsa, merekalah pohon pohon bangsa ini yang nantinya akan menghasilkan buah, yaitu kesejahteraan. Namun begitu juga bagaimana  meningkatkan pelayanan sosial bagi para lanjut usia agar mereka dapat hidup bahagia dalam suasana aman dan tenteram yang tentu saja melalui usaha pelembagaan para lanjut usia. 

Keterperincian / ketertinggalan
 



Selain masalah kesejahteraan sosial yang terkait dengan kemiskinan, ada pula masalah isolasi alam yaitu keterpencilan dan keterasingan yang berakibat pada ketertinggalan yang dialami oleh sekitar 267.795KK Komunitas Adat Terpencil tersebar di 2811 lokasi, 2328 desa, 807 kecamatan, 211 kabupaten di 27 propinsi (Pusdatin Kesos, 2004).
Kenyataan menunjukkan bahwa dalam kehidupan masyarakat Indonesia masih terdapat kelompok-kelompok masyarakat yang belum sepenuhnya terjangkau oleh proses pelayanan pembangunan baik karena isolasi alam maupun isolasi sosial budaya. Dengan demikian, mereka belum atau kurang mendapatkan akses pelayanan sosial dasar. Keadaan ini dapat menghambat proses pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya menuju ke arah tercapainya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Masalah keterpencilan dan ketertinggalan yang selama ini hanya dikaitkan dengan soal kemiskinan; dalam arus perubahan yang cepat, telah menjadi masalah kompleks. Ketertinggalan dan keterpencilan berjalan seiring dengan masalah yang terkait HAM,
Lingkungan, Integrasi Sosial, dan berbagai kerentanan terhadap eksploitasi dan perlakuan
salah. Peralihan pemerintahan dari Kabinet Gotong Royong ke Kabinet Indonesia Bersatu, merupakan rangkaian dari keberlanjutan proses membangun Indonesia sesuai dengan konsensus kolektif bangsa Indonesia ke depan. Berbagai persoalan bangsa dewasa ini, akan diatasi secara simultan dengan melakukan “penguatan sistem pemerintahan dan ketatanegaraan yang sejalan dengan jiwa, semangat, nilai, dan konsensus dasar pendirian Negara Kebangsaan Indonesia”. Komitmen nasional ini mengamanatkan bahwa Indonesia ke depan akan lebih mengacu pada upaya untuk mengatasi berbagai persoalan bangsa dengan lebih menekankan pada perwujudan rasa aman, adil dan sejahtera bagi seluruh warga masyarakat. Hal ini sejalan dengan komitmen Kabinet Indonesia Bersatu yang digariskan oleh Presiden yakni kedamaian, keadilan dan kesejahteraan adalah tujuan pembangunan Indonesia yang harus dicapai bersama. Di samping itu, disadari pula bahwa Indonesia saat ini telah mengalami pergeseran sistem pemerintahan secara mendasar, dari sistem yang bersifat sentralistik beralih kearah desentralistik dengan menekankan pada pemberian otonomi yang seluas-luasnya namun bertanggung jawab kepada daerah kabupaten dan kota sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang RI No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Pergeseran ini telah membawa perubahan secara mendasar di bidang politik, ekonomi, dan sosial budaya yang ditandai oleh tumbuhnya kesadaran politik masyarakat atas hak-haknya sebagai warga negara, sistem pemerintahan yang lebih demokratis, semakin meningkatnya peranan masyarakat dalam pembangunan, kebebasan berserikat, kebebasan menyampaikan pendapat, perlindungan terhadap hak masyarakat dan iklim perekonomian yang lebih kondusif.
Di samping perkembangan di atas, terdapat beberapa kecenderungan yang kurang kondusif seperti: pemekaran daerah, baik kabupaten/kota maupun propinsi baru, munculnya ego kewilayahan atas dasar kesukuan, kedaerahan dan lain-lain, munculnya disparitas antar wilayah, sebagai akibat dari terjadinya penguasaan kekayaan daerah secara otonom, terjadinya diskontinuitas hubungan kerja antara Pemerintah Kabupaten/Kota dengan Propinsi dan Pusat.
Gerakan reformasi tahun 1997 mengikuti pasca krisis telah menyebabkan terjadinya berbagai perubahan secara fundamental dalam sistem ketatanegaraan. Perubahan tersebut
antara lain : pertama, tuntutan keadilan di bidang ekonomi di daerah semakin gencar didukung oleh munculnya berbagai gerakan separatis di sebagian wilayah menjadi sebuah
ancaman disintegrasi nasional; kedua, sistem multi partai dengan jumlah hingga puluhan, menyebabkan terjadinya kooptasi eskalasi politik mulai dari akar rumput hingga` pada`
tingkat` elit` politik, yang akan `menjadi` potensi meluasnya kepentingan kelompok yang
akhirnya akan merapuhkan kohesi sosial dan akhirnya mengancam stabilitas nasional; ketiga, semakin hilangnya identitas dan pembudayaan simbol-simbol integralistik seperti nasionalisme, patriotisme dan penghargaan serta penghormatan terhadap simbol integrasi yang terefleksi pada Pancasila dalam kehidupan berbangsa, bermasyarakat dan bernegara. Selanjutnya telah mulai bermunculan simbol-simbol kedaerahan, kesukuan, agama, yang kesemuanya mengarah pada sikap ethnocentrisme; keempat, munculnya gejala kebebasan yang miskin kontrol, saling curiga, stigmatisasi kelompok atas kelompok lainnya, serta terjadinya kristalisasi kelompok atas dasar kepentingan. Yang lebih membahayakan bagi kepentingan integrasi nasional manakala sikap tersebut merambah pada akar rumput seperti konflik antar kampung, antar massa partai tertentu, antar golongan, konflik antar suku yang merupakan contoh betapa hilangnya simbol-simbol integralistik nasional pada tingkat akar rumput, yang pada akhirnya akan memperburuk persatuan dan kesatuan bangsa. Nah disinilah seharusnya pemerintah melihat kebelakang, apa kekurang efisiensiannya, janganlah sampai jiwa pancasila negara, yang mengarah kepada hilangnya simbol-simbol integralistik nasional pada tingkat akar rumput, yang pada akhirnya akan memperburuk persatuan dan kesatuan bangsa.
Kebijakan Pembangunan dan Kesenjangan Sosial
Semenjak Orde Baru berkuasa, ada beberapa kebijakan yang diterapkan dalam bidang ekonomi. Salah satu kebijakan adalah memacu pertumbuhan ekonomi dengan mengeluarkan undang-undang Penanaman Modal Asing dengan memberikan persyaratan dan peraturan-peraturan yang lebih ringan dan menarik kepada investor dibandingkan dengan kebijakan sebelumnya. Kegiatan industri meningkat tajam dan sangat pada GDP mengalami kenaikan dari sekitar 9 persen pada tahun 1970 menjadi sekitar 17 persen pada tahun 1992 (Booth dan McCawley, 1986:82 dan Sjahrir 1993:16). Pertumbuhan ekonomi juga mengalami kenaikan. Pendek kata, selama Orde Baru perekonomian mengalamii kemajuan pesat. Namun, bersamaan dengan itu ketimpangan sosial atau sekelompok kecil masyarakat, terutama mereka yang memiliki akses dengan penguasa politik dan ekonomi, sedangkan sebagian besar yang kurang atau hanya memperoleh sedikit manfaat. Bahkan, ada masyarakat merasa dirugikan dan tidak mendapat manfaat sama sekali. Kesenjangan sosial semakin terasa mengkristal dengan munculnya gejala monopoli.













Monopoli dan oligopoly dan memperkecil akses usaha kecil untuk menggambarkan usaha mereka. Menurut Revrisond Baswer (dikutip dalam Bernes (1995:1) hampir seluruh cabang produksi dikuasai oleh perusahaan konglomerat. Perusahaan-perusahaan besar konglomerat menguasai berbagai kegiatan produksi murni dari produksi, eksploitasi hasil hutan, konstruksi, industri otomotif, transpotasi, perhotelan, makanan, perbankan, jasa-jasa keuangan, dan media komunikasi. Diperkirakan 200 konglomerat menguasai 58 persen PDB. Usaha-­usaha rakyat yang kebanyakan kecil dan tradisional hanya menguasai 8 persen. Kesenjangan sosial ini tidak hanya mengganggu pertumbuhan ekonomi rakyat tetapi menyebabkan ekonomi rakyat mengalami proses marjinalisasi.










Selain kebijakan ekonomi, kebijakan yang diduga turut menstrimulir kesenjangan social adalah kebijakan penataan lahan (tata ruang). Penerapan kebijakan penataan lahan selama ini belum dapat mendatangkan manfaat bagi masyarakat. Berbagai kekuatan dan kepentingan telah mempengaruhi dalam penerapan. Tarik menarik berbagai kekuatan dan kepentingan telah menimbulkan konflik antara pengusaha besar dan masyarakat. Dalam konflik acapkali kepentingan masyarakat (publik) diabaikan dan cenderung mengutamakan kepentingan sekelompok orang (pengusaha). Penelitian Suhendar (1994) menyimpulkan bahwa: ”Kooptasi tanah-tanah : terutama di pedesaan oleh kekuatan besar ekonomi dan luar komunitas semakin menggejala. Pembangunan sektor ekonomi, seperti pembangunan kawasan industri, pabrik-pabrik, sarana wisata telah menyita banyak lahan penduduk. Demikian pula, instansi-instansi pemerintah memerlukan tanah untuk pembangunan perkantoran, instruktural ekonomi, fasilitas sosial, perumahan, dan lain-lain. Dalam banyak kasus, banyak tanah negara yang selama ini dikuasai penduduk dengan status tidak jelas di jadikan sasaran dan cara termudah untuk menggusur penduduk”.
Monopoli dan oligopoly dan memperkecil akses usaha kecil untuk menggambarkan usaha mereka. Menurut Revrisond Baswer (dikutip dalam Bernes (1995:1) hampir seluruh cabang produksi dikuasai oleh perusahaan konglomerat. Perusahaan-perusahaan besar konglomerat menguasai berbagai kegiatan produksi murni dari produksi, eksploitasi hasil hutan, konstruksi, industri otomotif, transpotasi, perhotelan, makanan, perbankan, jasa-jasa keuangan, dan media komunikasi. Diperkirakan 200 konglomerat menguasai 58 persen PDB. Usaha-­usaha rakyat yang kebanyakan kecil dan tradisional hanya menguasai 8 persen. Kesenjangan sosial ini tidak hanya mengganggu pertumbuhan ekonomi rakyat tetapi menyebabkan ekonomi rakyat mengalami proses marjinalisasi.
Selain kebijakan ekonomi, kebijakan yang diduga turut menstrimulir kesenjangan social adalah kebijakan penataan lahan (tata ruang). Penerapan kebijakan penataan lahan selama ini belum dapat mendatangkan manfaat bagi masyarakat. Berbagai kekuatan dan kepentingan telah mempengaruhi dalam penerapan. Tarik menarik berbagai kekuatan dan kepentingan telah menimbulkan konflik antara pengusaha besar dan masyarakat. Dalam konflik acapkali kepentingan masyarakat (publik) diabaikan dan cenderung mengutamakan kepentingan sekelompok orang (pengusaha). Penelitian Suhendar (1994) menyimpulkan bahwa: ”Kooptasi tanah-tanah : terutama di pedesaan oleh kekuatan besar ekonomi dan luar komunitas semakin menggejala. Pembangunan sektor ekonomi, seperti pembangunan kawasan industri, pabrik-pabrik, sarana wisata telah menyita banyak lahan penduduk. Demikian pula, instansi-instansi pemerintah memerlukan tanah untuk pembangunan perkantoran, instruktural ekonomi, fasilitas sosial, perumahan, dan lain-lain. Dalam banyak kasus, banyak tanah negara yang selama ini dikuasai penduduk dengan status tidak jelas di jadikan sasaran dan cara termudah untuk menggusur penduduk”.
  Dampak dari penerapan kebijakan penatagunaan lahan antara lain adalah terjadinya marjinalisasi dan pemiskinan masyarakat desa yang tanahnya dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan yang dalam banyak hal belum dan kurang dapat memberikan keuntungan ekonomis bagi rakyat

Penutup
            Berdasarkan uraian di atas memberikan pandangan tentang kinerja pemerintah yang masih harus terus ditingkatkan lagi, dan benar-benar memperhatikan kondisi kesenjangan di lingkungan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.Agar setiap rakyat indonesia dapat memiliki penghidupan yang layak dan bertanggung jawab,. Sebagaimana dari fungsi negara itu sendiri yang harus menyejahterakan masyarakat sesuai UUD 1945 yaitu memajukan keseahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Memang benar Kesenjangan sosial merupakan sesuatu yang menjadi sebuah momok atau tugas besar bagi pemerintah untuk diselesaikan. Dimana kesenjangan sosial merupakan masalah yang sukar untuk diselesaikan kerena menyangkut aspek-aspek yang harus diketahui secara mendalam dan pendekatan lebih dalam serta adanya saling keterkaitan berbagai aspek. Kesenjangan sosial sebuah keadaan ketidak seimbangan sosial yang ada di masyarakat, nah namun disinilah seharusnya pemerintah melihat kebelakang, apa kekurang efisiensiannya, janganlah sampai jiwa pancasila negara, yang mengarah kepada hilangnya simbol-simbol integralistik nasional pada tingkat akar rumput, yang pada akhirnya akan memperburuk persatuan dan kesatuan bangsa.





Namun supaya keadilan, kesejahteraan bisa terwujud serta merata adalah merupakan tanggung jawab kita bersama maka mulailah dengan diri kita sendiri dengan peduli dengan sesama. Agar apa yang di anut oleh sila ke lima pancasila yaitu ”keadilan sosial
bagi seluruh rakyat indonesia” terpenuhi sesuai dengan cita cita dan harapan bangsa.

DAFTAR PUSTAKA
http://id.wikipedia.org/wiki/Kemiskinan
http://ekkyleecaolan.wordpress.com/2011/11/04/kesenjangan-sosial-di-dalam-masyarakat
www.google.com
 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar