Jakarta - Banyak orang percaya bahwa Amerika dan Eropa kembali berada diambang krisis. Tidak bisa disangkal penurunan rating Amerika memberikan andil bertiupnya angin negatif yang diikuti oleh kepanikan bursa di Amerika yang diikuti oleh bursa-bursa lain diseluruh dunia. Eropapun tidak kalah mencekamnya, kemungkinan Yunani gagal bayar semakin besar dan juga memberikan dampak negatif di Eropa. Ditambah dengan Italia yang menyatakan tidak berdaya terhadap krisis di negaranya.
Dengan segala kegaduhan di Amerika dan Eropa pertanyaan yang mengusik saya cukup simpel, apakah Indonesia juga kena krisis global tersebut? Secara indikator ekonomi saja, krisis global yang dimulai dari tahun 2008 lalu yang berdampak sangat parah di Amerika Serikat yang diakibat produk keuangan yang sangat agresif yang disebut dengan suprime mortgage tidak terlalu berdampak secara signifikan di Indonesia.
Selama beberapa tahun terakhir saya juga mengamati perilaku masyarakat di kota-kota besar (seperti di Jakarta, Bandung dan Surabaya saja) menunjukan bahwa setiap saya datang ke pusat perbelanjaan alias Mal selalu dipenuhi oleh pengunjung. Pada saat saya berjalan di deretan toko-toko penjaja makanan (food court) dimana makanan dari luar negeri (franchise) bersaing secara langsung berhadap-hadapan, heran dan tidak habis pikirnya kedua restoran cepat saji tersebut tetap ramai, penuh bahkan terlihat antrean panjang baik yang membeli makanan maupun mencari tempat duduk. Demikian juga dengan restoran lain yang kalau kita hitung rata-rata bisa menghabiskan Rp 50.000 per orang per sekali makan yang kalau dihitung 1 keluarga dengan 2 anak akan menghabiskan dengan mudah Rp 200.000 per sekali makan.
So, Krisis nggak ya? Kalau dilihat seperti ini keliatannya tidak ada pengaruh krisis khususnya ke masyarakat kelas menengah di Indonesia yang sekarang menggeliat dan secara persentase jumlahnya mulai membesar. Banyak 'pengamat' ekonomi dengan yakinnya menyatakan bahwa daya beli rakyat Indonesia yang besar dan kuat (sebagai negara dengan populasi penduduk no 4 terbesar dunia), bersama China dan India, Indonesia tidak terkena krisis karena pembelanjaan dalam negeri tetap besar dan kuat. Pertanyaannya adalah, apakah kita yakin orang Indonesia sedemikian 'kaya-nya' sehingga bisa belanja terus?
Orang Indonesia, baik di perkotaan maupun pedesaan, termasuk orang yang Konsumtif, hal itu harus kita akui. Gengsi memberikan peranan sangat besar dalam hal konsumerisme ini. Lihat saja cerita disalah satu TV Swasta beberapa tahun lalu berjudul 'Bajaj Bajuri' dimana terdapat sosok 'emak' yang gengsian dan tidak mau kalah dengan tetangganya. Hal ini kerap kita temui dalam kenyataan dan kehidupan sehari-hari. Dan hal ini juga yang memicu sifat konsumerisme masyarakat Indonesia yang 'gila' belanja tersebut. Apalagi di masyarakat perkotaan yang gengsinya juga lebih tinggi lagi, alhasil semakin mahal barang yang dijual semakin banyak yang borong. Tidak heran kalau Indonesia menjadi salah satu tujuan utama export barang dari luar negeri.
Melihat kenyataan yang ada lalu pertanyaan yang tadi mencuat wajib dijawab, apakah masyarakat Indonesia mempunyai daya beli yang besar sehingga bisa menahan gejolak krisis ekonomi dunia? Jawabannya mungkin Iya. Pertanyaan berikutnya adalah apakah belanja mereka menggunakan uang pribadi atau dibiayai dari utang konsumtif seperti kartu kredit dan kredit tanpa agunan? Melihat agresifnya penerbit kartu kredit dalam menjaring nasabah baru untuk mendapatkan kartu kredit mereka, tidak mustahil bahwa sifat konsumtif tersebut dibiayai oleh utang. Kenyataan bahwa jumlah kredit macet sudah mencapai 2 digit (data ini sering disembunyikan) menunjukan bahwa jumlah pemakaian kartu kredit yang meningkat dan jumlah kredit macet yang juga jauh lebih meningkat.
Tidak hanya belanja yang menggunakan utang, barang-barang yang kemudian dibeli atau konsumsi belum tentu barang-barang buatan dalam negeri karena orang Indonesia termasuk 'gila' barang import alias barang luar negeri yang secara otomatis kontribusi ke masyakarat dan negara tidak sebesar yang diperkirakan. Hal ini kembali berhubungan dengan gengsi tadi, dengan dalih barang-barang luar negeri mempunyai kwalitas mutu yang lebih baik.
Kalau sudah begini, apakah benar ekonomi Indonesia kuat dari terpaan krisis karena masyarakatnya mempunya 'daya beli' yang kuat sehingga membelanjakan penghasilan mereka? Bukankah apabila mereka belanja dengan utang konsumtif, yang sudah pasti bunganya sangat tinggi, justru membuat daya beli mereka rapuh karena lama kelamaan akan terbeli utang? Kalau dulu di zaman orde baru runtuhnya ekonomi Indonesia karena kredit macet konglomerat yang besar, jangan sampai hal ini terulang lagi oleh kredit macet konsumsi.
Masih segar dalam ingatan kredit macet konglomerat yang harus ditebus mahal oleh seluruh rakyat Indonesia dengan keluarnya Bantuan Likuiditas Bank Indonesia atau BLBI yang lama kelamaan beralih menjadi Surat Utang Negara atau SUN. Kalau hutang konglomerat dijamin dengan aset-aset perusahaan (meskipun kita ketahui nilai penjualan kembali aset tersebut sangat kecil) akan tetapi setidak-tidaknya masih ada asset atau barang yang bisa dilego. Sementara kredit konsumen ini hanya mengandalkan suku bunga yang tinggi tanpa adanya jaminan aset, sehingga apabila macet seperti kejadian ditahun 1997-1998 akan sulit bagi institusi keuangan untuk mendapatkan uangnya kembali.
Oleh sebab itu, penting sekali untuk dapat mensosialisasikan dan mendidik agar masyarakat Indonesia bisa menabung dan berinvestasi. Jangan sampai kelompok dan masyarakat muda di Indonesia menjadi masyarakat konsumtif seperti anak muda di Jepang dan Singapura. Konsep Perencanaan Keuangan pribadi dan keluarga dapat membantu anda semua untuk dapat mengatur keuangan secara lebih baik lagi dan membantu anda untuk tidak menjadi masyarakat konsumtif sehingga bisa menabung dan berinvestasi agar tujuan-tujuan keuangan dan impian masa depan dapat tercapai.
sumber: http://finance.detik.com/read/2011/09/12/072517/1719933/722/mewaspadai-konsumerisme-di-indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar